Penulis: Adolfh Seno
Berbagai media
mainstream, baik media lokal Papua maupun kolonial Indonesia memberitakan bahwa
Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopulhukam) ditemani oleh
beberapa pejabat penting seperti Panglima TNI, Kapolri, Menteri Pekerjaan Umum
(PU), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sedang mengunjungi Papua dan Fiji.
Kunjungan yang
ditolak mentah-mentah oleh pemuda dan masyarakat Papua tersebut membuktikan bahwa, negara Republik Indonesia
ini benar-benar kepala batu (baca: keras kepala) untuk tetap mempertahankan
Papua menjadi wilayah pemerasan Imperialisme dan melalui NKRI. Sebelumnya Luhut
Pandjaitan mengeluarkan pernyataan keras terhadap para tokoh Pembebasan
Nasional Papua untuk meninggalkan wilayah Papua, atas dasar geliat politik
Pembebasan Nasional Papua yang terus menjalar ke setiap sudut-sudut ruang di
bumi.
Di tingkat
nasional pemerintah kolonial, antusiasme Luhut mengunjungi Papua juga dipicu
oleh sikap Lukas Enembe yang terus memberontak menolak Otsus. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus itu menurut Lukas merupakan produk
yang gagal, produk yang basi (baca: tidak berlaku), dan perlu dihangatkan
supaya sedikit lebih enak (baca: biar lebih baik).
Pemerintah
Indonesia tentu tidak akan memberikan perbaikan atas keterpaksaan pengesahan UU
Otsus tahun 2001 yang merupakan satu produk politik untuk meredam semangat
berdaulat Rakyat Papua. Luhut dan pihak Jakarta menganggap Otsus masih enak
untuk dikonsumsi oleh pemerintah Papua, dengan lontaran dana 52 Triliun lebih
untuk provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping perang statement tentang
Otsus, penembakan-penembakan terus terjadi beruntun di wilayah Papua.
Nampak jelas,
pihak Indonesia semakin kalang kabut akibat goyangnya stabilitas ekonomi
politik dunia, disamping kekhawatiran China dengan goncangan ekonominya yang
memaksa Tiongkok harus bertarung di Laut China Selatan. Dalam kunjungan
tersebut tentu sangat berhubungan erat dengan struktuk kerangka kapitalisme
kian keropos dan kebijakan Masyarakat Ekonomi yang sedang marak-maraknya
menghapus batas-batas negara demi kepentingan kaum kapitalis di Asia
Tenggara.
Dalam kunjungan
tersebut terdapat beberapa hal yang akan ditempatkan dalam pembahasan mendasar,
di antaranya sosialisasi dan penjelasan tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua,
narkoba, terorisme, dan deradikalisme, serta lebih khusus membahas perkembangan
politik dan keamanan. Dalam beberapa topik tersebut, isu keamanan dan terorisme
menjadi masalah yang semakin serius di bahas.
Isu yang ditingkat dunia semakin basi akibat stabilitas ekonomi yang
goyang.
Papua adalah
ladang subur bagi kejayaan Imperialisme, sebuah tahapan khusus dari sebuah
sistem binatang yang bernama Kapitalisme menurut persfektif Lenin[1].
Kapitalisme telah menjelma menjadi satu kekuatan monopoli yang terus menghisap
manusia dan sumber daya alam (SDA) oleh segelintir manusia di bumi rakyat
dunia.
Hal utama di dalam tahapan ini adalah pergeseran
kapitalisme menuju persaingan bebas oleh kapitalisme monopoli. Tahap yang
ditandai dengan lahirnya kekuatan Multy
National Corporation (MNC), di satu pihak kapital finansial adalah kapital
dari beberapa bank monopoli yang sangat besar, yang merger dengan kapital dari
asosiasi-asosiasi monopoli industrialis. Di lain pihak penguasaan dunia yang
tanpa dibatasi oleh batas negara. Kapital finansial ini didukung oleh Bretton
Woods Institution, yaitu: Bank Dunia (World
Bank, Dana Moneter Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan
pada tiga sistem yaitu liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi).
Dalam memandang
tujuan kunjungan Luhut ke Papua, merupakan satu bentuk penekanan sistematis
terhadap perjuangan pembebasan Nasional dan semangat pemberontakan yang
dilakukan oleh rakyat sipil Papua, baik melalui aksi-aksi fisik maupun psikis.
Hal ini selaras dengan penekanan yang dilakukan oleh kelas kapitalis di Amerika
Latin, yang secara periodik menyerang kemampuan berorganisasi dan bernegosiasi
secara langsung kepada kaum buruh. Kelas kapitalis melakukan negara sebagai
alat kekuasaannya untuk menyerang kekuatan prosgresif dari buruh, tani,
nelayan, pemuda, dan kelompok-kelompok tertindas lainnya.
Mesti ditinjau
dari basis material yang melatarbelakangi pihak jakarta kepala batu untuk
melakukan kunjungannya ke Papua. Tentunya, akibat perkembangan kapitalisme yang
tidak memandang batas wilayah atau negara, mesti dianalisis bahwa kunjungan
Luhut merupakan sebuah kekhawatiran yang amas sangat dari krisis yang melanda
Amerika dan Eropa serta China.
Situasi Dunia
hari ini sedang mengalami goncangan yang hebat di tahun 2016. Seperti dalam
tulisan Alan Woods[2], bahwa
para ekonom hari ini sedang serius memperkirakan bahwa ekonomi dunia memasuki
kemerosotan berikutnya, yang mungkin dimulai di Asian sebagai akibat
perlambatan tajam dari ekonomi Tiongkok yang perkasa. Tanggal 28 Desember 2015
lalu, Financial Times menerbitkan sebuah artikel oleh Gideon Rachman dengan
judul menarik: Babak Belur dan Gelisah – Seluruh Dunia Berada di Ujung Tanduk:
Tahun 2015, sentimen keresahan tampak melanda seluruh pusat-pusat kekuasaan
dunia. Dari Beijing ke Washington, Berlin ke Brazilia, Moskow ke Tokyo,
pemerintah-pemerintah, media, dan rakyat merasa kebingungan dan terombang-ambing.
Ketakutan terus
menghantui para pakar Ekonomi dunia yang semakin cemas dengan masa depan yang
semakin menuju jurang kehancuran kapitalisme. Zona Eropa sekarang sedang
melalui krisis yang paling serius di dalam sejarahnya. Seperti yang telah diprediksi
sebelumnya bahwa atas kontradiksi antar nasional yang sedang mencuat dengan
retaknya hubungan Yunani, Prancis, Irlandia, Jerman, dan Italia. Uni Eropa
sedang bertarung menghadapi hari-hari yang sulit.
Krisis yang
pecah semenjak 2008 seperti juga yang dikatakan oleh sejumlah ekonom borjuasi
yang lebih cerdas seperti John Ing, CEO
Maison Placements Canada,
merupakan awal dari krisis satu ke krisis lainnya. Situasi ini seperti
mengulangi apa yang mereka bangun sebelum perang Imperialisme yang diawali oleh
krisis kapitalisme awal tahun 1925. Perang Dunia (PD) II, yang dipicu oleh
perekonomian dunia saat itu yang terombang-ambing dan berakhir dengan
pembantaian umat manusia.
Di Amerika
dengan situasi politik yang tidak stabil, hampir semua media sedang menyoroti
para bakal calon presiden dari Partai Republik, yakni Donald Trump. Tampaknya
para elit borjuis Amerika semakin meragukan badut yang satu ini. Dari sudut
pandang kelas penguasa tampaknya Hilary Clinton lebih signifikan dibanding
Trump. Namun dukungan masif lebih dibanjiri oleh Bernie Sanders, kandidat dari
Partai Demokrat akibat kekecewaan mendalam Rakyat Amerika terhadap kaum elit
borjuis di Amerika. Revolusi Politik ala Bernie Sanders menjadi jargon yang
terus menggema di telinga jutaan Rakyat dalam setiap kampanyenya.
Di samping
pergolakan dalam negeri, pergolakan di luar negeri Amerika pun tidak kalah
ributnya. Washington mengamati situasi ini dengan perasaan campur aduk,
was-was, dan tidak berdaya. Perang melawan teror yang dikampanyekan oleh
Amerika dan sekutunya kini bukanlah sesuatu yang woaow di Irak. Klaim bahwa
tentara Irak yang lemah dan pengecut di bawah kendali AS, yang katanya telah
merebut kembali Ramadi dari tangan ISIS, ternyata hanyalah dusta belaka.
ISIS dan Amerika
ibarat sebuah peluru senjata yang berbalik mengenai tuannya. Amerika kini mau
tidak mau harus tunduk di bawah tangan Putin yang menguasai Suriah. Bahkan
sekutu-sekutu Eropanya pun semakin tunduk di bawah Moskow. Ekonomi yang pincang
di Eropa semakin membuat borjuasi Eropa butuh pasar dan gas Rusia untuk
membersihkan kekacauan di Suriah dan menanggulangi pengungsi yang terus
membanjiri tiada henti.
Di Arab,
kelompok penguasa Saudi kini sedang menuai badai. Demonstrasi-demonstrasi masa
telah meletus di berbagai kota dengan slogan seperti, “Mampuslah Bangsawan
Saudi…!”.
Di China awal
tahun 2016 dikejutkan dengan 3 kali kejatuan harga saham. Pemerintah China
berusaha mencoba mendamaikan situasi. Tajuk utama koran Tiongkok People’s
Daily, menyangkal pendapat ini dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi di
Tiongkok hanyalah demam sementara yang bisa diatasi. Berbeda dengan beberapa
media barat yang menggambarkan bahwa apa yang terjadi adalah sinyal mengakhiri
model China. Persoalannya adalah over produksi di sektor-sektor yang menjadi
tumpuhan ekonomi China, seperti; batubara, bijih besi, baja, kapal, panel
surya, dan properti. Hal ini pula yang mendorong pihak Tiongkok terus keras
kepala terlibat konflik Laun China Selatan yang kaya akan kandungan minyak dan
gas serta batu bara.
Sementara di
Jepang, kepercayaan semakin pudar, dan menyangsihkan kemampuan reforma-reforma
radikal, yang dikenal sebagai Abenomics, untuk memecahkan siklus hutang dan
deflasi Jepang. Keresahan Jepang semakin membengkak akibat berlanjutnya
ketegangan-ketegangan dengan Tiongkok.
Dari problem
pelemahan ekonomi di Eropa, Indonesia pun nampaknya mulai menunjukkan wajah
kecemasan. Indonesia yang merupakan pelayan negara-negara Imperialisme pusat,
selalu bergantungan pada tangkai-tangkai kapitalis. Ketiga para negara
imperialis berada di atas awan, maka negara ini pun akan berdiri di atas awan,
ketika negara-negara imperialisme jatuh, maka Indonesia pun akan berada di
situasi yang paling hancur. Hal ini terbukti ketika terjadi perlambatan ekonomi
di China yang mengakibatkan pelemahan terhadap nilai mata uang rupiah dan
kembali pulih ketika Tiongkok berhasil menambal bolongan lapisan ekonomi
mereka.
IMF beberapa
waktu yang lalu berteriak kencang kepada negara-negara di Asia harus berperan
dalam menjaga perekonomian global. Kepada Indonesia, IMF memperingatkan untuk
merevisi kebijakan kekuangan di tahun 2016. Hal ini menandakan bahwa situasi
perekonomian sedang kocar-kacir.
Indonesia hari
ini sedang mempersiapkan seluruh kekuatannya untuk bersaing dalam kompetisi
yang dibangun oleh para kapitalis Asia Tenggara. Dalam kunjungan Luhut sangat
berkaitan erat dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang beberapa waktu lalu
telah diresmikan untuk dilaksanakan. Penembakan yang menewaskan 4 orang di
Puncak Jaya, tentu memperlambat jalan Trans Papua yang ditargetkan harus
menyambung akses ke berbagai pusat kota di Papua terhambat. Di tahun 2009 Susilo
Bambang Yudoyono mendeklarasikan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia yang membentuk turunannya ke dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua
dan Papua Barat untuk membangun jalur-jalur pengurasan SDA atau bahan-bahan
mentah dari Papua.
Dalam asal-usul
dan perkembangan MEA, sangat relevan untuk mempejalari asal usul dan
perkembangan UNI EROPA yang dibangun uasi Perang Dunia ke-2, jelas krisis yang
sebelumnya yang terbangun atas wilayah-wilayah koloni yang melepas
ikatan-ikatan kapitalisme pada jamanya. Kini UNI Eropa telah menemui jalan
buntunya. Unit-unit persatuan regional yang terbentuk, tentunya sangat
berkaitan erat dengan aspek ekonomi, di antaranya terbentuk akibat kontradiksi
kapitalisme sendiri dan kebutuhan akan pasar untuk penyebaran produk-produk.
Tanpa ucapan
khusus dan basa-basi, MEA kini telah diberlakukan. MEA secara ringkas berisi
limat hal, yakni; Arus bebas barang, Jasa, Tenaga Kerja Terampil, Investasi,
dan Modal. Dalam hal persaingan menuju masyarakat ekonomi, Filiphina telah
menyiapkan 1000 orang, Thailand telah menyiapkan ratusa pebisnis, ribuan guru
di Vietnam sedang mengikuti kursus bahasa dan budaya Indonesia, Singapura telah
menyiapkan ratusan konsultan keuangan dan, Ribuan warga Myanmar sedang
mengikuti pelatihan montir kendaraan bermotor dan sevice HP. Semua persiapan
ini akan melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua.
MEA
dideklarasikan di antara kekuatan ekonomi politik dunia yang semakin ambruk.
Berbeda dengan UNI Eropa yang dibentuk saat masa developmentalisme dari tahap
kapitalisme. Impian yang hampa di kalangan kaum kapitalisme Asia Tenggra akan
sebuah pasar bebas yang sebebas-bebasnya akan terbentur pada realita
kapitalisme yang pahit dan justru akan menciptakan situasi politik yang meledak-ledak
seperti di Yunani, cepat atau lambat.
Situasi ini
tentu membuat berbagai negara-negara di berbagai belahan dunia goyang dan
was-was. Bagaimana tidak? Dua kelompok pemimpin ekonomi (Amerika dan UNI Eropa)
hari ini sedang berada dalam situasi yang terseok-seok. Hal ini jelas membawa
shocktherapy yang amat mendalam di kalangan ekonom dunia. Tidak bisa dibilang
tidak bahwa bencana over-produksi ini bila bertahan dalam waktu yang lama maka
kemungkinan Chaos (Perang) bukanlah hal yang mustahil terjadi. Dalam
catatan-catatan ilmiahnya, Marx pernah mengatakan bahwa, kapitalisme sedang
menggali kuburnya sendiri akibat kontradiksi-kontradiksi di kalangan kapitalis.
Dari penggalan kalimatnya yang menjadi pertanyaan, sudah siapkah para penggali
dan pengubur untuk melenyapkan setan kapitalisme ini? Penggali kubur yang
dimaksud adalah kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya seperti, petani,
nelayan, perempuan, miskin kota, pemuda, pelajar dan mahasiswa. Melenyapkan
kapitalisme yang dimaksud di sini ialah dengan melakukan Revolusi dan
menguburkannya di sini bermaksud untuk memusnahkan tatanan kapitalisme.
Seperti
pertanyaan di atas bahwa, sang penggali kubur atau kelas-kelas yang selalu
memberikan kontradiksi melawan kapitalisme ini harus siap dalam menghajar dan menguburkan
kapitalisme. Tentunya hanya praktik yang dapat membuat perubahan yang nyata
bukan celoteh-celoteh melalui media-media sosial sejenisnya. Bukan juga melalui
tulisan-tulisan panjang. Seperti yang dikatakan Lenin bahwa, bukan lagi kita
mengelotek atau hanya berteriak-teriak tanpa tindakan nyata. Hal utama yang
harus dilakukan oleh organisasi Revolusioner saat ini adalah menghapuskan paham
reformis di antara gerakan. Bangun kekuatan progresif, ciptakan massa Rakyat
terdidik, dan kuburkan kapitalisme selamanya.
Penulis adalah mahasiswa jalanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar